PD Muhammadiyah Kabupaten Banjar - Persyarikatan Muhammadiyah

 PD Muhammadiyah Kabupaten Banjar
.: Home > Artikel

Homepage

AKTUALISASI KHITTAH MUHAMMADIYAH DAN FORMAT PERAN POLITIK KEBANGSAAN

.: Home > Artikel > PDM
04 Oktober 2011 17:58 WIB
Dibaca: 11374
Penulis : Haedar Nashir

Pengantar

          Muhammadiyah berada dalam pusaran kehidupan bangsa dan antar bangsa yang sarat dinamika yang kompleks saat ini. Muhammadiyah sebagai organisasai Islam modernis/reformis terbesar di Indonesia bahkan di dunia memiliki beban sejarah dan tanggungjawab yang besar untuk memainkan peranannya sebagai kekuatan kemasyarakatan (civil society, masyarakat madaniyah) untuk bersama-sama kekuatan nasional yang lain mempercepat proses menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang maju, adil, makmur, sejahtera, bermartabat, dan berdaulat di hadapan bangsa-bangsa lain. Peran sejarah yang penting dan strategis itu hanya dapat dilakukan manakala Muhammadiyah sendiri berdiri dalam posisi yang benar, tepat, dan memiliki modal sosial yang tinggi sebagai gerakan Islam yang mengemban fungsi dakwah dan tajdid di Republik ini.

          Dalam konteks posisi dan peran yang penting serta strategis di kancah nasional dan global itu maka Muhammadiyah dengan berbagai perangkat atau instrumen organisasi yang dimilikinya dituntut untuk melakukan revitalisasi seluruh aspek dan struktur gerakannya sehingga mampu bermain secara dinamik dengan tetap berdiri kokoh di atas fondasi atau prinsip gerakannya. Dalam kaitan ini Khittah sebagai Garis Perjuangan Muhammadiyah dapat diletakkan sebagai bingkai atau pagar gerakan sekaligus difungsikan secara objektif/aktual dalam menjalankan peran kebangsaan dari sudut fungsi gerakan kemasyarakatan. Dengan instrumen organisasi yang penting tersebut gerakan Islam yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan tahun 1912 tersebut bukan dimaksudkan untuk menarik diri atau bersifat anti-kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi sebaliknya menjadi proaktif dan terfokus dalam memainkan peranannya sebagai organisasi kemasyarakatan (sosial-keagamaan) dan bukan sebagai organisasi politik yang memang menjadi fungsi partai politik dalam menjalankan peran-peran kebangsaan non-politik kepartaian. Kini tantangannya ialah bagaimana dengan Khittah justru Muhammadiyah mampu mengoptimalisasikan peranannya sebagai gerakan Islam dalam menjalankan peran kebangsaan melalui jalur non-politik-praktis dan terhindar dari tarikan-tarikan kepentingan politik-kekuasaan yang seringkali menggerus idealisme dan keutuhan sistem gerakan, yang dalam jangka panjang membelokkan gerakan dari cita-cita dan tujuan ideal semula.

 

Masalah Bangsa

            Indonesia sebenarnya memiliki fondasi yang kokoh dan peluang yang terbuka untuk tegak menjadi bangsa dan negara yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat. Pertama, Indonesia sebagai bangsa memiliki spirit yang kokoh karena lahir dalam pergulatan perjuangan melawan penjajahan hingga akhirnya merdeka pada 17 Agustus 19945. Kedua, Indonesia memiliki falsafah/ideologi negara Pancasila sebagai konsensus nasional dan mengandung nilai-nilai luhur yang utama untuk acuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga, Indonesia memiliki cita-cita nasional yang jelas sebagai visi dan arah untuk membangun dirinya, yaitu yaitu terwujudnya (1) Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur; (2) Perikehidupan kebangsaan yang bebas; dan (3) Pemerintahan Negara Indonesia untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keempat, Indonesia memiliki potensi dan dayadukung yang besar, yakni: (a) Kondisi geografis, sumberdaya alam, dan keanekaragaman hayati yang sangat kaya, (b) Jumlah penduduk, sumberdaya manusia, dan kemajemukan budaya yang luar biasa, dan (c) Posisi geopolitik, sejarah,  dan penghargaan dunia terutama sejak awal kemerdekaan yang cukup positif sehingga dipandang sebagai negara besar di wilayah Asia Tenggara.

            Potensi dan anugerah Allah yang besar itu tampaknya tersia-siakan, sehingga sampai hari ini Indonesia belum berhasil menjadi negara yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat di hadapan bangsa-bangsa lain. Memang sejumlah kemajuan telah dicapai seperti di bidang demokrasi, integrasi nasional, dan lain-lain, tetapi banyak yang belum optimal dan muncul sejumlah masalah antara lain sebagai berikut. Pertama, ketergantungan Indonesia kepada pihak asing cukup tinggi, karena utang Indonesia hingga saat ini makin besar yakni 165 miliar dolar US (awal reformasi warisan Orde Baru 56 miliar dolar US) atau setara Rp. 1.667 triliuan, dengan cicilan dan bunga yang harus dibayar tahun ini sebesar 101,7 triliun rupiah. Dari berbagai sumber media massa (Kompas, Media Indonesia, Majalah Tempo, dll). Sebagai perbandingan tahun 2004 utang Indonesia R.1.294,8 triliun, tahun 2008 Rp. 1.632  triliuan, dan tahun ini menambah lagi menjadi Rp. 1.667 triliun, sehingga dikatakan pemerintah saat ini sifat “ketagihan utang”.  Kedua,  tingkat pertumbuhan ekonomi mulai naik tetapi tidak disertai pemerataan/keadilan sehingga angka kemiskinan dan pengangguran serta masalah-masalah lainnya tetap tinggi dan menjadi beban nasional yang berat, sehingga perekonomian Indonesia belum memenuhi spirit demokrasi ekonomi. Ketiga, demokrasi yang maju di bidang politik disertai dengan persoalan-persoalan yang belum terintegrasi seperti sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang rancu, multipartai politik yang bermasalah, dan pragmatisme politik yang tinggi, sehingga politik belum menjadi bagian dominan untuk membangun negara yang dicita-citakan, dan lebih banyak menjadi ajangg perjuangan kepentingan kekuasaan dan uang bagi kekuatan-kekuatan maupun elite politik sendiri.  Keempat, masalah-masalah sosial-budaya seperti lemahnya rasa dan ikatan kebangsaan, memudarnya kohesi sosial, disorientasi nilai keagamaan, dan lemahnya mentalitas positif. Kini posisi Indonesia di Asia Tenggara tertinggal dalam banyak hal dari Singapura, Malaysia, dan Thailand, serta lebih disejajarkan dengan Philipina, Vietnam, Kamboja, dan bahkan Papua Noegini. Pandangan tersebut bukan berarti merendahkan bangsa dan tidak percaya pada kemampuan sendiri, tetapi justru sebagai sikap koreksi diri dan pertanggungjawaban objektif agar ke depan Indonesia harus keluar dari masalah dan bangkit menjadi bangsa yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat sebagaimana cita-cita kemerdekaan. Kelima, masalah korupsi disertai gurita mafia hukum, makelar kasus, dan penegak hukum yang korup plus lembaga-lembaga politik yang despotik dan kini mulai terlibat korupsi,  sehingga upaya pemberantasan korupsi dan penegakkan hukum masih jauh dari harapan dan terkesan masuk dalam lingkaran-setan (vicious circle).

            Masalah-masalah yang krusial tersebut memerlukan mobilisasi seluruh potensi banga dan pembersihan seluruh institusi negara dari berbagai borok kelembagaan,  sekaligus memerlukan daya tahan moral bangsa  dan  topangan kepemimpinan nasional yang kuat untuk memecahkannya. Kepemimpinan nasional dalam menghadapi masalah tersebut harus berada dalam level manajemen krisis dan bukan manajemen normal apalagi retorik. Kekuatan-kekuatan nasional termasuk organisasi kemasyarakatan dan keagamaan juga dituntut peranannya yang proaktif dalam memecahkan masalah bangsa sebagai problem solver  (pemecah masalah) dan bukan part of problem (bagian dari masalah).  Pada titik inilah pentingnya menggerakkan kembali kemandirian bangsa yang ditopang kekuatan visi dan karakter bangsa sebagai modal nasional jangka panjang, selain mencari pemecahan-pemecahan yang signifikan dan prioritas atas masalah-masalah yang menggumpal tersebut.  Semuanya demi kemajuan Indonesia sebagai bangsa besar di hadapan bangsa-bangsa lain.

            Bahwa kemajuan bangsa tergantung pada seluruh komponen rakyat untuk mengubah nasibnya sendiri, sebagaimana pesan Allah dalam Al-Quran: “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, hingga kaum itu sendiri mengubah dirinya sendiri” (QS Ar-Ra’d: 11). Tetapi secara menyeluruh dan dalam konteks sistem bangsa Indonesia kini dan ke depan memerlukan prakondisi dan faktor-faktor strategis yang penting untuk meraih kemajuan, yaitu: (1) Kepemimpinan yang reformatif, yang mampu memadukan karakter/kepribadian yang kuat dengan kemampuan untuk melakukan perubahan ke arah kemajuan, (2) Good Governance, tata pemerintahan yang baik, yang bebas dari korupsi dan berbagai penyimpangan, serta sepenuhnya berfungsi untuk melayani publik atau hajat hidup orang banyak,  (3) Trust atau kepercayaan, yakni berbagai kondisi mental dan segala hal yang membuat bangsa dan negara Indonesia dipercaya dan memperoleh kepercayaan, baik secara internal maupun eksternal, dan (4)  Karakter bangsa, sebagai prasyarat mentalitas dari seluruh warga negara untuk menampilkan diri sebagai bangsa yang memiki watak dan kepribadian yang kuat, yang ditandai oleh sifat-sifat relijius, moderat, cerdas, dan mandiri (lihat: PP Muhammadiyah, Revitalisasi Visi dan Karakter Bangsa, 2009).

 

           

Ranah Politik

          Politik secara klasik berkaitan dengan urusan negara atau pemerintahan. Politik dalam ranah yang konkret selalu dikaitkan dengan kekuasaan, termasuk di dalamnya pengaruh dan kekuatan. Politik berkaitan dengan beragam kegiatan manusia dalam sistem politik. Politik sering dikaitkan dengan kepentingan atau seni memperjuangkan kepentingan. Politik juga  menyangkut nilai, yakni alokasi nilai yang dipandang berharga untuk diperjuangkan dalam kehidupan masyarakat, yang nilai itu sering direduksi menjadi nilai kekuasaan dan kepentingan.  Politik tidak pernah lepas dari denyut nadi masyarakat sebagai makhluk politik.

          Politik itu penting dan strategis karena menyangkut urusan negara atau pemerintahan dalam arti luas. Namun politik dalam konteks negara atau pemerintahan itu tidaklah sekadar urusan perjuangan kekuasaan (power struggle) semata sebagaimana yang tumbuh kuat dalam alam pikiran sebagian masyarakat. Perrjuangan kekuasaan tersebut yakni menyangkut perjuangan who gets what, when and how  (siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana caranya) seperti pandangan Harold Lasswell. Dalam pandangan Lasswellian politik terfokus pada bagaimana memperjuangkan kursi kekuasaan yakni memperoleh, memupuk, dan melanggengkan kekuasaan dalam pemerintahan. Politik yang demikian sering disebut dengan politik-praktis atau real politics, yang lazimnya menjadi fungsi atau peran utama partai politik.

          Padahal dalam arti atau cakupan yang luas politik itu selain berurusan dengan perjuangan kekuasaan, tidak kalah pentingnya menyangkut pengoperasian negara, yaitu bagaimana negara atau pemerintahan  itu diurus atau dikelola dengan benar (how to manage state). Politik juga menyangkut penentuan kebijakan umum (public policy), yakni menentukan keputusan-keputusan praktis dan strategis untuk kepentingan hajat hidup rakyat. Politik dikaitkan pula dengan urusan kepentingan umum (public interst), yakni bagaimana hajat hidup orang banyak tertutama warganegara diperjuangkan. Politik terkait pula dengan urusan kebaikan atau kebajikan umum (public goods), yakni tegaknya hal-hal yang baik bagi kepentingan orang banyak seperti tegaknya keadilan, kebenaran, moral, dan hal-hal yang positif secara objektif dan dibutuhkan masyarakat luas. Dengan cakupan politik yang demikian maka politik sebenarnya tidak terbatas pada perjuangan kekuasaan belaka, juga tidaklah kotor, sebagaimana menjadi bias atau stigma tentang politik. Namun dalam praktiknya memang sering dijumpai politik dalam makna kekuasaan dan kotor itu, yang melahirkan adagium the end justifies the means, tujuan menghalalkan cara. Hal itu terjadi karena politik dicandra dalam proses dan kepentingan yang serba pragmatis dan menjurus menjadi pragmatisme, sehingga nilai-nilai politik yang ideal dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan kegunaan yang beraroma perjuangan kekuasaan belaka.

          Dalam politik juga tidak boleh dilupakan faktor orang atau manusianya. Faktor aktor atau pelaku yang bertindak menentukan apakah politik itu menjadi serba pragmatis atau tidak. Politik itu pada dasarnya baik sebagaimana aspek kehidupan lainnya, tetapi politik menjadi kotor karena dikotori oleh pelakunya, di mana hukum seperti ini berlaku untuk ranah kehidupan lain termasuk agama. Politik dalam tradisi Islam itu “sawasa al-amr”, mengurus urusan dengan sebaik-baiknya. Menurut Ibn ‘Aqil, as-siasatu ma kana fa’ala yakunu minhu al-nasu aqrabu ila al-shalah wa ab’adu ‘an al-fasad, wa an lam yakun yasyra’ahu al-Rasulu wa la nazala bihi wahyu (Politik itu adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat pada kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan, kendati Rasulullah  tidak menetapkannya dan Allah SWT tidak mewahyukannya). Muhammadiyah memandang politik sebagai alat perjuangan Islam melalui kekuasaan negara, yang termasuk dalam wilayah al-umur al-dunyawiyyat. Karena itu perjuangan politik harus ditempuh oleh para kader politik Muhammadiyah dengan segenap kemampuan dan komitmen yang tinggi.

          Politik juga menjadi serba pragmatis dalam cakupan semata perjuangan kekuasaan yang naif ketika sistem politik di suatu negara belum mapan dan kondisi kehidupan bangsa dan negara sarat dengan masalah-masalah struktural. Dalam sistem politik yang masih tradisional, transisi, dan rentan tumbuh pragmatisme politik yang meluas tanpa proses kendali yang objektif dari sistem dan warga negara. Semakin demokratis suatu negara yang ditopang oleh sistem hukum yang baik dan kemakmuran rakyat yang tinggi maka politik menjadi lebih positif dan kondusif sebagaimana fungsinya yang luas. Dalam masyarakat atau negara yang masih rapuh atau lembek (soft state), politik pun sebagaimana hukum dan lain-lain ikut menjadi lembek dan rimba. Politik sekadar menjadi alat perjuangan kekuasaan dan para aktor yang berkuasa menjadi ajimumpung dengan kekuasaannya, sehingga lahirlah praktik kesewenang-wenangan atau penyelewengan kekuasaan sebagaimana teori Lord Acton, power tends to corrupt, absolute power tends absolutely (kekuasaan itu cenderung sewenang-wenang atau menyimpang, dan kekuasaan yang abolut cenderung menjadi sewenang-wenang atau menyimpang secara absolut pula). Inilah hukum rimba atau primitif politik dalam praktik maupun alam pikiran, yang membuat Muhammad Abduh bersumpah: aku berlindung kepada Allah dari politik dan apa-apa yang terkait dengannya.

          Namun politik memang penting dan strategis, kerana itu tidak dapat dinegasikan apalagi dibuang jauh-jauh dari kehidupan. Kini yang diperlukan ialah bagaimana menegakkan politik yang sehat dan para pelaku politik yang sama sehatnya, sehingga politik menjadi alat strategis untuk sebesar-besarnya kemaslahatan hidup umat manusia.  Dalam kaitan inilah Muhammadiyah mencoba memilah atau melakukan pembagian kerja antara ranah politik kekuasaan yang menjadi fungsi-tugas kekuatan-kekuatan politik yakni partai politik dan politik kemasyarakatan atau kebangsaan yang menjadi fungsi-tugas kelompok-kelompok kepentingan (interst groups).

          Dalam kaitan inilah sejak awal Muhammadiyah lebih memilih perjuangan membangun bangsa dan negara melalui jalur gerakan kemasyarakatan non-politik-praktis atau di luar perjuangan partai politik. Pilihan politik yang demikian bukan karena Muhammadiyah alergi atau anti-politik dan bukan pula karena kekalahan di ranah politik, tetapi sejak awal memang Muhammadiyah diproyeksikan untuk menjadi gerakan Islam yang berjuang di lapangan dakwah dan tajdid kamasyarakatan serta tidak menjadi gerakan atau kekuatan politik sebagaimana lembaga partai politik. Dalam banyak pandangan tumbuh keyakinan, bahwa politik terlalu penting hanya menjadi urusan perebutan kekuasaan dan diserahkan kepada partai politik serta politisi semata. Kekuatan-kekuatan civil-society dengan peran politik kebangsaannya tidak kalah pentingnya untuk membangun bangsa dan negara mencapai tujuannya.

          Namun perlu diingat betapapun kekuatan cicil-society berperan sebagaimana mestinya dalam membangun bangsa dan negara, pada saat yang sama semestinya partai politik pun berfungsi signifikan dalam membangun bangsa dan negara di jalurnya. Beban bangsa Indonesia sebenarnya dapat lebih ringan manakala partai-partai politik memainkan peranan sebagaimana mestinya, yang keseluruhan orientasinya untuk membangun bangsa dan negara sesuai cita-cita nasional. Partai politik tidak sekadar melakukan perjuangan meraih, menduduki, dan mempertahankan kekuasaan di pemerintahan meskipun hal itu memang pekerjaan utama partai politik secara legal. Partai politik juga dituntut melakukan pendidikan politik dan mengoperasikan fungsi-fungsi politik negara yaitu mengelola pemerinatahan dengan benar, merumuskan dan menentukan kebijakan-kebijakan publik,  menegakkan kebajikan-kebajikan politik, yang semuanya dihajatkan untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat dan negara. Partai politik juga perlu menjunjung tinggi fatsoen atau tatakrama dan moral politik, sehingga dalam memperjuangkan kekuasaan tidak terjebak pada penghalalal segala cara demi mencapai tujuan. Apa yang disaksikan di negeri ini partai politik cenderung makin terjebak pada pragmatisme politik, sehingga fungsi-fungsi politik yang utama seolah terabaikan dan terkalahkan oleh hasrat kekuasaan meraih, menduduki, dan mempertahankan kekuasaan.

          Partai politik sebagaimana berlaku dalam sistem politik modern juga diharapkan profesional, yakni  terfokus pada perjuangan politik sesuai fungsi-fungsi partai politik modern. Memang pasca reformasi terdapat ruang untuk tumbuh dan berkembangnya partai politik ideologis termasuk yang berbasis keagamaan, tetapi semestinya tidak bersifat ganda yang menghimpitkan fungsi partai politik dan organisasi keagamaan atau keormasan, sehingga menjadi tumpang-tindih dan membuka peluang konflik kepentingan dan konflik horizontal dengan kekuatan-kekuatan masyarakat. Sekilas secara dalam pandangan ideologis tertentu penghimpitan parpol dan ormas dalam satu tubuh seolah ideal, terutama dari sudut pandang politik keagamaan atau ideologi keagamaan yang monolitik. Tetapi dalam jangka panjang selain menimbulkan konflik dan benturan kepentingan yang tajam di masyarakat, pada saat yang sama beban politik dan ideologis pun menjadi semakin berat atau kental sehingga dapat memberi peluang untuk pragmatisme politik yang kian kuat dan sarat ambisi berlebihan, yang pada akhirnya akan menjadikan politik menjadi serba absolut sekaligus menghalalkan segala cara karena harus “mengejar setoran”  melampaui takaran untuk kepentingan politik-kekuasaan di ranah negara atau pemerintahan sekaligus kesuksesan gerakan kemasyarakatan-keagamaan di ranah masyarakat. Pembagian kerja antara partai politik dan organisasi kemasyarakatan secara tegas jauh lebih realistik, produktif, dan mencegah konflik yang keras, yang sebenarnya kurang begitu cocok bagi budaya politik Indonesia maupun kultur dan sistem politik modern.

 

Khittah Politik

          Khittah Muhammadiyah sering dianggap oleh sebagian kalangan sebagai “biang” alergi dan anti-politik, bahkan membuat gerakan Islam ini “banci” atau ambigu dalam menghadapi politik, maksudnya politik kekuasaan dalam makna perebutan kursi kekuasaan di pemerintahan. Dengan Khittah itu Muhammadiyah menjadi pasif, bahkan tidak ada jalan keluar sebaiknya bagaimana peran politik Muhammadiyah. Muhammadiyah bahkan dipandang tidak memiliki konsep politik yang jelas, cenderung sekuler karena memisahkan politik dari gerakannya. Dipandang pula Muhammadiyah menjauhi politik itu sebagai bentuk keputusasaan atau marjinalisasi (peminggiran) diri dari dinamika politik yang sesungguhnya jauh lebih penting ketimbang dakwah.

          Pandangan yang demikian mungkin ada benarnya dilihat dari satu sudut kepentingan politik-praktis, yakni politik yang berorientasi pada perjuangan merebut, menggunakan, dan mempertahankan kekuasaan politik di pemerintahan. Para politisi pada umumnya berada dalam posisi yang berpandangan demikian. Hal itu tentu wajar karena di satu pihak politik-kekuasaan memang penting dan para politisi maupun partai politik memerlukan dukungan politik dari kekuatan-kekuatan masyarakat seperti Muhammadiyah. Namun bukan berarti Muhammadiyah sebagai organisasi kemasyarakatan harus mengubah diri menjadi partai politik, memberikan dukungan proaktif atau mendirikan partai politik, maupun terlibat dalam perjuangan politik-praktis sebagaimana fungsi partai politik. Muhammadiyah melakukan pilihan politik untuk tidak berpolitik-praktis itu justru sebagai langkah sadar sejak awal bahwa perjuangan politik-praktis memang bukan niat awal Muhammadiyah. Tentu plus-minus dari pilihan itu tetapi itulah sebuah pilihan gerakan, sebab menjadi partai politik atau terlibat dalam perjuangan politik-praktis pun sama plus-minusnya, sehingga posisi yang demikian wajar adanya dan perlu dihormati sebagai suatu pilihan gerakan yang dapat dipertanggungjawabkan baik dari segi objektivitas politik maupun idealisme gerakan.

          Pandangan yang terlalu pro-politik dan menegasikan peran Muhammadiyah tersebut lebih-lebih dengan memandang Khittah sebagai “biang” kesulitan Muhammadiyah, sesungguhnya juga tidak tepat jika dipahami Khittah dalam spirit dan konteks gerakan Muhammadiyah secara keseluruhan. Lebih-lebih dengan Khittah Denpasar tahun 2002 tentang Khittah Berbangsa dan Bernegara, di dalamnya terkandung pandangan sekaligus garis dan alternatif langkah Muhammadiyah dalammenghadapi politik. Dalam telaahan penulis, Khittah Denpasar merupakan konsep yang cukup mewakili dari seluruh Khittah sebelumnya termasuk Khittah tahun 1971, yang memberikan sinyal pandangan Muhammadiyah tentang politik, posisi Muhammadiyah dalam politik, dan pilihan jalan keluar dari tidak berpolitik-praktis. Khittah Denpasar sebenarnya merupakan Khittah utama yang dapat menjadi bingkai pandangan, pembatas, sekaligus jalan keluar bagi Muhammadiyah dalam menghadapi politik.

          Khittah apapun penting karena dengan Khittah itu terdapat garis atau bingkai pembatas mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan Muhammadiyah, yang mengikat seluruh anggota lebih-lebih pimpinannya. Boleh jadi Khittah sebaik apapun masih memiliki kelemahan atau melalui Khittah terdapat plus-minus dari gerakan Muhammadiyah. Namun Khittah tetap diperlukan baik karena sudah menjadi garis resmi organisasi yang tentu saja lahir karena pengalaman yang panjang suka-duka yang dialami Muhammadiyah maupun karena dipandang sejalan dengan jatidiri gerakan ini sejak awal, sehingga telah menjadi bagian dari prinsip atau manhaj gerakan Muhammadiyah. Hal yang diperlukan ialah konsistensi komitmen dari anggota Muhammadiyah untuk menjadikan Khittah benar-benar sebagai garis pembatas dan pembingkai gerakan Islam ini dalam menghadapi dunia kehidupan politik.

          Dalam kasus tertentu boleh jadi terdapat kebijakan atau pilihan organisasi yang berbeda dari Khittah karena pertimbangan-pertimbangan darurat atau situasional, sejauh hal itu dilakukan secara kelembagaan melalui mekanisma organisasi yang diproses secara matang demi mencegah kedaruratan atau karena kepentingan yang lebih besar,  tentu dapat dibenarkan sebagai bentuk fleksibilitas organisasi. Tetapi semestinya secara umum tetap mengacu atau mempertimbangkan Khittah dan prinsip organisasi sehingga tidak melampaui batas garis gerakan. Para kader atau elite pimpinan dalam menerjemahkan kebijakan organisasi pun dituntut kearifan, kecerdasan, dan etika organisasi agar kebijakan organisasi tidak keluar jauh dari koridornya karena apapun Muhammadiyah itu merupakan organisasi Islam yang besar dan menjadi amanah sejarah perjuangan umat Islam dan bangsa Indonesia yang harus tetap dijaga eksistensi, keutuhan, dan komitmen utama gerakannya. Muhammadiyah tidak boleh menjadi lahan pertaruhan politik dan karena itu diperlukan Khittah Perjuangan.

          Adapun Khittah Denpasar tahun 2002 atau Khittah Muhammadiyah dalam Berbangsa dan Bernegara yang bersifat lengkap itu berisi sembilan butir pernyataan pokok, yaitu sebagai berikut:

 

(1)    Muhammadiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan salah satu aspek dari ajaran Islam dalam urusan keduniawian (al-umur ad-dunyawiyat) yang harus selalu dimotivasi, dijiwai, dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur agama dan moral yang utama. Karena itu diperlukan sikap dan moral yang positif dari seluruh warga Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan politik untuk tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara.

(2)    Muhammadiyah meyakini bahwa negara dan usaha-usaha membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, baik melalui perjuangan politik maupun melalui pengembangan masyarakat, pada dasarnya merupakan wahana yang mutlak diperlukan untuk membangun kehidupan di mana nilai-nilai Ilahiah melandasi dan tumbuh subur bersamaan dengan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, perdamaian, ketertiban, kebersamaan, dan keadaban untuk terwujudnya “Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur”.

(3)    Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya masyarakat madani (civil society) yang kuat sebagaimana tujuan Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan kenegaraan sebagai proses dan hasil dari fungsi politik pemerintahan akan ditempuh melalui pendekatan-pendekatan secara tepat dan bijaksana sesuai prinsip-prinsip perjuangan kelompok kepentingan yang efektif dalam kehidupan negara yang demokratis.

(4)    Muhammadiyah mendorong secara kritis atas perjuangan politik yang bersifat praktis atau berorientasi pada kekuasaan (real politics) untuk dijalankan oleh partai-partai politik dan lembaga-lembaga formal kenegaraan dengan sebaik-baiknya menuju terciptanya sistem politik yang demokratis dan berkeadaban sesuai dengan cita-cita luhur bangsa dan negara. Dalam hal ini perjuangan politik yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik hendaknya benar-benar mengedepankan kepentingan rakyat dan tegaknya nilai-nilai utama sebagaimana yang menjadi semangat dasar dan tujuan didirikannya negara Republik Indonesia yang diproklamasikan tahun 1945.

(5)    Muhammadiyah senantiasa memainkan peranan politiknya sebagai wujud dari dakwah amar ma’ruf nahi munkar dengan jalan mempengaruhi proses dan kebijakan negara agar tetap berjalan sesuai dengan konstitusi dan cita-cita luhur bangsa. Muhammadiyah secara aktif menjadi kekuatan perekat bangsa dan berfungsi sebagai wahana pendidikan politik yang sehat menuju kehidupan nasional yang damai dan berkeadaban.

(6)    Muhammadiyah tidak berafiliasi dan tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan kekuatan-kekuatan politik atau organisasi manapun. Muhammadiyah senantiasa mengembangkan sikap positif dalam memandang perjuangan politik dan menjalankan fungsi kritik sesuai dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar demi tegaknya sistem politik kenegaraan yang demokratis dan berkeadaban.

(7)    Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota Persyarikatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai hati nurani masing-masing. Penggunaan hak pilih tersebut harus merupakan tanggungjawab sebagai warga negara yang dilaksanakan secara rasional dan kritis, sejalan dengan misi dan kepentingan Muhammadiyah, demi kemaslahatan bangsa dan negara.

(8)    Muhammadiyah meminta kepada segenap anggotanya yang aktif dalam politik untuk benar-benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan mengedepankan tanggung jawab (amanah), akhlak mulia (akhlaq al-karimah), keteladanan (uswah hasanah), dan perdamaian (ishlah). Aktifitas politik tersebut harus sejalan dengan upaya memperjuangkan misi Persyarikatan dalam melaksanakan da’wah amar ma’ruf nahi munkar.

(9)    Muhammadiyah senantiasa bekerjasama dengan pihak atau golongan mana pun berdasarkan prinsip kebajikan dan kemaslahatan, menjauhi kemudharatan, dan bertujuan untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik, maju, demokratis dan berkeadaban.

 

Peran Politik

          Khittah Muhammadiyah bagaimanapun lengkapnya tidaklah sempurna, selalu terdapat celah kekurangan. Tetapi dengan Khittah terdapat garis pembatas sekaligus bingkai bahwa Muhammadiyah sejatinya berposisi dan berperan sebagai organisasi kemasyarakatan (sosial-keagamaan) yang bergerak dalam lapangan pembangunan masyarakat,  sebaliknya Muhammadiyah bukanlah organisasi politik atau yang berperan sebagaimana organisasi politik seperti halnya partai politik dengan segala aktivitasnya dalam perjuangan kekuasaan di ranah negara atau pemerintahan. Namun baik organisasi kemasyarakatan maupun organisasi politik melalui jalur yang berbada tetap bertemu dalam satu titik yaitu bersama-sama membangun bangsa dan negara. Karenanya baik ormas keagamaan/kemasyarakatan maupun partai politik memiliki posisi dan peran yang berbeda tetapi sama-sama penting dan strategis dalam membangun kehidupan bangsa dan negara.

          Muhammadiyah akan menjadi salah posisi dan tidak tepat manakala dipandang dan diposisikan dari sudut partai politik atau kepentingan perjuangan kekuasaan yang bersifat praktis. Partai politik dan perjuangan politik kekuasaan itu sendiri memang penting dan strategis tetapi juga bukan segala-galanya.  Urusan bangsa dan negara terlalu penting hanya diserahkan dan menjadi garapan partai politik dan sekadar kepentingan perjuangan kekuasaan belaka. Lebih dari itu kenyataan juga menunjukkan bahwa kehidupan partai politik dan perjuangan politik kekuasaan sebagaimana menjadi agenda utama urusan politik tidaklah serba ideal sebagaimana dibayangkan oleh para pendukung politik praktis. Dalam sejumlah hal, untuk tidak menyatakan banyak hal, ranah politik kekuasaan bahkan seringkali sarat masalah, sehingga bukan sekadar dunia yang indah. Seorang pimpinan partai politik di negeri ini berangkat dari pengalamannya di lapangan bahkan sempat menyatakan bahwa politik itu dalam praktiknya sungguh jahat dan kotor, kendati tentu saja dalam sisi lain politik itu juga menunjukkan nilai luhur terutama ketika dibingkai moral dan sepenuhnya memperjuangkan hajat hidup bangsa dan negara.

          Jika sebagian pandangan menyatakan hasil kerja politik itu luar biasa bagaikan memancing ikan hiu, sedangkan dakwah sekadar mengail ikan teri, sesungguhnya tidak selamanya demikian. Ketika menang memang besar ikan tangkapannya, tetapi manakala kalah juga tak kalah besar jatuh dan bangkrutnya. Ormas-ormas Islam yang di masa lalu jaya kemudian berubah menjadi partai politik pada akhirnya juga tenggelam, atau ketika menjadi partai politik kemudian sarat masalah sedangkan urusan dakwah kemasyarakatannya terlantar. Partai politik Islam yang di masa lalu jaya kemudian mati dan menjadi beban sejarah atau partai-partai politik yang demikian ideal sejak awal tetapi setelah di perjalanan bagaikan kacang lupa kulit, sehingga resikonya pun tak kalah bera. Kerja politik dapat menghasilkan menteri atau posisi strategis di kekuasaan, tetapi pada saat yang sama kehilangan menteri atau jabatan kekuasaan karena tawar menawar politik selalu disertai pertukaran kepentingan, akhirnya dapat satu kehilangan satu. Perjuangan di ranah politik pun selalu diwarnai prgamatisasi yang luar biasa sehingga konlik, intrik, saling jegal, politik uang, dan masalah-masalah perebutan kepentingan menjadi sangat vulgar dan terbuka. Hal-hal yang demikian jangan diabaikan dari neraca politik, sehingga dunia politik kendati sekali lagi penting dan strategis, tidak seindah sebagaimana yang diagungkan para pejuang politik kekuasaan.

          Adapun gerakan-gerakan sosial kemasyarakatan memang kelihatan genggaman tangannya tak seberapa, mungkin kecil dan mengais-ngais. Tetapi dalam jangka panjang sering tidak kalah besar hasil dan manfaatnya. Kalau berandai-andai bahwa Muhammadiyah menjadi partai politik atau terus bergumul dalam perjuangan politik mungkin meraih sukses besar, tetapi juga terbuka kemungkinan bangkrut besar sehingga tidak seperti sekarang memiliki 171 perguruan tinggi, ribuan sekolah dan taman kanak-kanak, puluhan rumah sakit, ratusan balai pengobatan dan panti asuhan, dan lebih penting lagi masih mengakar di masyarakat luas dengan kepercayaan yang melekat di dalamnya. Ketika sesekali masuk ke ranah perjuangan atau dukungan politik, sering dengan mudah kritik dan peluruhan kepercayaan mengemuka ke ruang publik. Muhammadiyah juga tidak akan memiliki basis sosial yang kuat dalam berdakwah, sehingga boleh jadi kehilangan kepercayaan dari umat atau masyarakat, yang lama kelamaan surut dan mengecil sebagaimana ormas Islam yang lebih dulu lahir dan kemudian nyaris hilang dari peredaran. Pertimbangan yang demikian juga perlu dikemukakan dan menjadi perhatian agar tidak dengan mudah menegasikan posisi dan peran penting Muhammadiyah karena demikian kuat hasrat membawa gerakan Islam ini masuk ke kancah perjuangan politik-praktis baik langsung maupun tidak langsung. Politik sekali lagi penting dan strategis, tetapi juga ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan lebih-lebih dakwah kemasyarakatan tak kalah penting dan strategisnya manakala ditekuni, digarap, dikelola, dan diperjuangkan sepenuh hati dengan istiqamah.

          Karena itu, Muhammadiyah baik dengan Khittah maupun tanpa Khittah, sesungguhnya telah berada di jalur yang tepat, sebagaimana pihak atau organisasi lain yang mengambil jalur perjuangan politik sama tepatnya, manakala semuanya dilakukan dengan terfokus, optimal, sungguh-sungguh, dan lebih penting lagi dengan mengerahkan segala potensi dan berpijak pada idealisme. Kepalan tangan yang kecil dalam jalur gerakan dakwah kemasyarakatan manakala disatukan dari ratusan ribua hingga jutaan warga Muhammadiyah dalam menyangga gerakan Islam ini insya Allah akan melahirkan karya amaliah yang luar biasa.

          Dalam posisi yang demikian maka sebagaimana Khittah Denpasar, Muhammadiyah dengan tetap berada dalam kerangka gerakan dakwah dan tajdid yang menjadi fokus dan orientasi utama gerakannya, dapat mengembangkan fungsi kelompok kepentingan atau sebagai gerakan sosial civil-society dalam memainkan peran berbangsa dan bernegara tanpa harus bergumul dalam kancah perjuangan politik-praktis sebagaimana partai politik. Muhammadiyah sebagai gerakan sosial-keagamaan yang memerankan fungsi kelompok kepentingan sebagai kekuatan masyarakat madaniah merupakan format yang tepat dalam memainkan peran politik-kebangsaan untuk mewujudkan Indonesia sebagai bangsa dan negara yang maju, adil, makmur, sejahtera, bermartabat, dan berdaulat sebagaimana cita-cita nasional kemerdekaan tahun 1945.

          Muhammadiyah sebagai kelompok kepentingan dapat memainkan peran politik lobi, komunikasi politik, sosialisasi politik, pendidikan politik, melakukan kritik atau tekanan publik, dan distribusi kader politik atau kader profesional lainnya yang dapat masuk ke seluruh lini pemerintahan. Peran kelompok kepentingan tersebut dengan tetap dilakukan berdasarkan spirit dakwah al-amr bi al-ma’ruf wa nahyu ‘an al-munkar, yang dilakukan dengan pendekatan berwajah kultural dan tidak sebagaimana peran politisi dan partai politik yang sering bersifat serba terbuka, vulgar, dan sarat tawar menawar kepentingan yang bersifat pragmatis. Dalam menjalankan fungsi kelompok kepentingan tersebut dapat dilakukan melalui kelembagaan sesuai mekanisme yang  berlaku dalam Muhammadiyah maupun perseorangan dengan tetap menjunjung tinggi prinsip, etika, dan kepentingan Muhammadiyah.

          Kendati fungsi kelompok kepentingan sebagai aktualisasi peran politik kebangsaan selaku kekuatan masyarakat madaniyah dan wujud dari peran amar makruf dan nahi munkar, Muhammadiyah dan para pelaku gerakannya tetap harus memperhatikan prinsip-prinsip  dan etika organisasi termasuk di dalamnya komitmen pada Khittah Muhammadiyah. Tidak boleh karena alasan menjalankan fungsi kelompok kepentingan kemudian terjebak pada langkah politik-praktis dan menjadikan organisasi sebagai pertaruhan politik, karena sampai batas tertentu pula melalui fungsi kelompok kepentingan akan terjadi proses politik-praktis manakala tidak dijaga jarak dan keseimbangan dalam menjalankannya. Baik dalam mendukung (amar makruf) maupun mengkritisi (nahi munkar) kebijakan pemerintah misalnya manakala dilakukan melampaui garis Khittah dan kepatutan organisasi maka pada akhirnya akan bermuara pada proses politik-praktis pula. Hingga di sini faktor etika gerakan dan kearifan dalam menjalankan fungsi kelompok kepentingan dari para pelaku gerakan menjadi penting dalam Muhammadiyah. Segala sesuatu dan langkah harus tetap berada dalam koridor organisasi dan tidak melampaui batas  takaran. Hal tersebut kelihatan rumit atau konservatif tetapi apapun dalam menjalankan amanah organisasi memang perlu garis pembatas, kearifan, dan pertimbangan yang matang karena menyangkut sistem dan amanat gerakan yang tidak boleh dipertaruhkan dengan sembarangan tanpa mekanisme dan etika organisasi yang membingkai.

          Kesantunan, objektivitas, moralitas atau akhlak, dan kearifan dalam  menjaga batas-batas prinsip gerakan maupun dalam menjalankan fungsi kelompok kepentingan tetap diperlukan dari seluruh pelaku gerakan Muhammadiyah. Hindari pemaksaan kehendak, berjalan sendiri tanpa memperhatikan koridor organisasi, dan sikap berlebihan atau melampaui takaran dalam menjalankan fungsi politik kepentingan atasnama Muhammadiyah. Sebab manakala peran atau fungsi kelompok kepentingan itu dilakukan melampaui takaran atau kebablasan maka proses dan hasil akhirnya akan sama dengan fungsi atau peran partai politik dan masuk ke kancah atau jalur perjuangan politik-praktis.  Pada situasi yang demikian maka selain selalu memperhatikan spirit dan binkai Khittah maupun prinsip-prinsip organisasi yang selama inimenjadi manhaj gerakan Muhammadiyah, pada saat yang sama perlu dikedepankan kearifan dan etika dari para elite atau pelaku gerakan kelompok kepentingan dan Muhammadiyah secara keseluruhan. Di sinilah integrasi antara koridor organisasi dan akhlak politik  setiap anggota Muhammadiyah sebagaimana terkandung dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah menjadi sangat penting dan harus menjadi pijakan bagi setiap kader, elite,dan pimpinan Persyarikatana dalam kancah kehidupan berbangsa dan bernegara.

          Dalam mengoptimalkan peran Muhammadiyah dalam politik kebangsaan dapat dikembangkan pula jaringan kader politik kebangsaan, baik yang berada dan melalui jalur partai politik dan lembaga legislatif, maupun di jalur lembaga eksekutif dan yudikatif serta lembaga-lembaga pemerintahan lainnya.  Jika secara kelembagaan Muhammadiyah tidak memainkan fungsi politik-praktis, maka secara fungsional dan non-institusional dapat dikembangkan jaringan kader politik sebagai langkah pengembangan potensi kader di berbagai struktur kelembagaan di luar organisasi. Pengembangan jaringan kader politik atau kader kebangsaan tersebut berfungsi sebagai kepanjangan tangan atau anak panah gerakan Muhammadiyah. Dengan demikian sekaligus dapat dipecahkan kesenjangan hubungan antara kader politik / kader bangsa dengan Persyarikatan yang selama ini sampai batas tertentu menjadi keluhan sementara pihak. Lebih jauh lagi melalui jaringan kader politik kebangsaan tersebut dapat diptimalkan misi Muhammadiyah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui para kadernya di ranah kebangsaan.

          Agar peran kader politik kebangsan tersebut dapat dioptimalkan bagi kepentingan misi Muhammadiyah maka diperlukan usaha-usaha pemahaman misi ideologi gerakan bagi para kader bangsa tersebut.  Muhammadiyah tentu akan terus mendorong para kadernya yang berkiprah di dunia politik-praktis maupun di berbagai jalur kehidupan lainnya secara positif, karena dakwah memang memerlukan penyangga dari seluruh lini dan struktur kehidupan. Namun para kader politik  atau kader bangsa dari Muhammadiyah tersebut seyogyianya terus memupuk idealisme, prinsip, etika, dan modal dasar yang kuat atau memadai untuk berkiprah di ranah politik-praktis atau di ranah kebangsaan,  selain faktor kemampuan-kemampuan objektif yang diperlukan sebagaimana layaknya pelaku politik yang idealis dan profesional.

          Peran kader Muhammadiyah dalam politik kebangsaan yang perlu dikembangkan antara lain sebagai berikut: (1) Membawa dan mengaktualisasikan misi dan usaha Muhammadiyah secara objektif dan inklusif; (2) Memelihara integritas, komitmen, dan akhlak atau moral politik sebagaimana Kepribadian dan Pedoman Hidup Islami serta nilai-nilai yang berlaku dalam Muhammadiyah; (3) Ketika berkiprah dan berada dalam lingkungan internal Muhammadiyah lebih menunjukkan ke-Muhammadiyahan-nya daripada kepartaiannya, meski menjadi politisi tentu saja perlu meraih simpati, dukungan, dan trust dari warga Muhammadiyah; (3) Memberikan dukungan dan topangan terhadap kepentingan Muhammadiyah melalui kiprahnya di dunia politik di ranah perjuangan kekuasaan/pemerintahan; (4) Menjadi politisi yang benar-benar sidiq, amanah, tabligh, dan fathanah dengan mengedepankan kewajiban dan tugas utama sebesar-besarnya memperjuangkan kepentingan rakyat; (5) Berkiprah optimal dalam memajukan bangsa dan negara sehingga Indonesia menjadi bangsa dan negara yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat sebagaimana cita-cita nasional yang diletakkan oleh para Pendiri Bangsa dan tertuang dalam Pembukaan UUD tahun 1945.

 

 

 

Penutup

          Muhammadiyah dengan Khittah dan manhaj gerakan yang melandasai serta membingkainya dapat memainkan peran kebangsaan secara lebih proaktif melalui aktualisasi kerja-kerja dakwah kemasyarakatan yang lebih progresif, baik untuk memperkuat basis civil-society maupun penguatan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam menghadapi tuntutan dinamika kebangsaan yang semakin kompleks dan memerlukan peran-peran proaktif dari kekuatan-kekuatan kemasyarakatan, Muhammadiyah dapat mengembangkan fungsi kelompok kepentingan dan pengembangan jaringan kader politik kebangsaan melalui berbagai aktivitas/partisipasi berbangsa dan bernegara. Dengan peran-peran kemasyarakatan dan kebangsaan yang lebih artikulatif maka diharapkan Muhammadiyah dapat mempengaruhi kehidupan bangsa dan negara sesuai dengan misi dan tujuannya sekaligus memajukan kehidupan nasional yang sejalan dengan cita-cita kebangsaan/kemerdekaan.

          Karena itu seluruh elemen dalam Muhammadiyah perlu meningkatkan fungsi-fungsi gerakan dalam menyangga peran Persyarikatan dalam kehidupan bangsa dan negara. Dengan demikian Khittah tidak menjadi kendala, sebaliknya justru memperkuat artikulasi peran politik kebangsaan Muhammadiyah menuju terwujudnya Indonesia sebagai bangsa dan negara yang maju, adil, makmur, sejahtera, bermartabat, dan berdaulat di hadapan bangsa-bangsa lain. Karena itu Muhammadiyah pun perlu memperbesar kapasitas dirinya agar menjadi kekuatan yang berada di garis depan bersama kekuatan-kekuatan masyarakat lainnya. Indonesia yang besar dan memiliki peluang untuk tumbuh dan berkembang menjadi negara maju di berbagai bidang kehidupan, memerlukan penyangga dari seluruh kekuatan nasional, baik kekuatan organisasi kemasyarakatan maupun kekuatan-kekuatan politik nasional. Namun negara dan bangsa ini terlampau penting jika urusannya hanya digantungkan dan diserahkan pada kekuatan-kekuatan politik belaka, tanpa keterlibatan proaktif dari kekuatan-kekuatan kemasyarakatan seperti Muhammadiyah.

          Dalam lalulintas dinamika politik yang luar biasa dan permasalahan serta agenda bangsa yang semakin kompleks, maka sesungguhnya baik bagi partai-partai politik maupun organisasi kemasyarakatan sesuai fungsinya masing-masing justru diperlukan pembagian kerja dan kerjasama yang semakin konstruktif. Energi politik dan sosial yang dimiliki bangsa ini perlu disinergikan dan dimobilisasi secara optimal demi kemajuan dan kejayaan bangsa. Sebaliknya praktik-praktik politik dan sosial yang konvensional atau tidak sejalan dengan sistem politik modern yang demokratis semakin ditinggalkan menuju tata peradaban baru Indonesia yang lebih unggul. Bangsa ini tidak akan maju pesat manakala terlalu banyak beban politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang  ongkosnya terlalu tinggi dan kontraproduktif.

      Dalam dinamika dan tuntutan kehidupan kebangsaan yang demikian kompleks dan sarat tantangan itu maka peran Muhammadiyah sebagai organisasi keagamaan-kemasyarakatan dengan fungsi moral-force atau kelompok kepentingan yang dapat dimainkannya secara optimal merupakan keniscayaan yang signifikan bagi Muhammadiyah sendiri maupun masa depan bangsa yang lebih baik ketimbang berkutat pada dilema berpolitik-praktis yang penuh pertaruhan. Kini yang diperlukan ialah mobilisasi seluruh potensi yang dimiliki dan perankan fungsi-fungsi keormasan secara otimal baik dalam penguatan masyarakat madaniyah maupun dalam mempercepat kemajuan bangsa secara keseluruhan. Di sinilah dengan tetap berpijak pada Khittah pentingnya kepekaan, orientasi advokasi, dan partisipasi politik-kebangsaan secara lebih artikulatif diperlukan dari para anggota atau elite Muhammadiyah dalam memperkuat posisi dan peran gerakan Islam ini dalam memajukan kehidupan bangsa dan negara.

          Khittah berfungsi sebagai garis pembatas dan pembingkai Muhammadiyah agar tetap berada di koridornya yakni bergerak di bidang dakwah dan tajdid di lapangan kemasyarakatan, serta tidak bergerak dalam politik-praktis di ranah perjuangan kekuasaan sebagaimana partai politik. Tetapi dengan Khittah itu Muhammadiyah dapat memainkan fungsi kelompok kepentingan atau kekuatan moral dan proaktif dalam dinamika politik kebangsaan, dengan tetap pelaksanannya berpijak pada prinsip-prinsip organisasi dan etika gerakan yang berlaku dalam Muhammadiyah.  Khittah jangan dijadikan penghalang untuk warga Muhammadiyah dalam berperan aktif memajukan kehidupan bangsa dan negara menuju Indonesia yang lebih baik dan bermartabat sejauh semuanya dilakukan secara organisatoris dan berpijak pada prinsip-prinsip gerakan Muhammadiyah. Tetapi berperan dalam kehidupan bangsa dan negara juga bukanlah pekerjaan serampangan yang boleh dilakukan dengan liar (oportunisme) tanpa idealisme, bingkai, dan orientasi yang jelas sebagaimana prinsip dan cita-cita utama Muhammadiyah untuk menjadikan Islam sebagai rahmatan lil-‘alamin di negeri tercinta ini. Peran yang demikina  memang tidak mudah tetapi di situlah tantangan bagi Muhammadiyah dan para pelaku gerakannya dan untuk itulah kita diberi anugerah akal-sehat untuk terus berikhtiar dalam kehidupan yang kadang sarat tarik-menarik yang tidak sederhana. Namun sejauh komitmen dan ikhtiar terus dilakukan serta ditopang oleh kolektivitas dan sistem yang solid  maka akan banyak jalan menuju kesuksesan bagi Muhammadiyah dalam menjalankan misi gerakan untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya sebagaimana janji Allah:      

            Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik  (QS Al-Ankabut [29]: 69).

----------------

Makalah disampaikan dalam Seminar Pra-Muktamar Satu Abad Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Surakarta tanggal 14 s/d 15 Desember 2009 di Kampus UMS, Surakarta.


Tags: ArtikelSeminar
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori :

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website