PD Muhammadiyah Kabupaten Banjar - Persyarikatan Muhammadiyah

 PD Muhammadiyah Kabupaten Banjar
.: Home > Artikel

Homepage

Memahami Metode Hisab Dalam Hiruk Pikuknya Pada Akar Rumput.

.: Home > Artikel > PDM
27 April 2023 10:38 WIB
Dibaca: 404
Penulis : Ust. Ahmad Tsaaqib Thalib M.Ag (Ketua Majelis Tarjih Dan Tajdid PDM Banjar)

Umat Islam di Indonesia merayakan hari raya idul fitri setelah menjalani ibadah puasa Ramadan satu bulan penuh. Adapun disamping hari raya idul fitri sebagai moment kebahagiaan karena kita saling bermaaf-maafaan dan berbagi satu sama lain, ternyata hari raya juga sebagai moment perdebatan yang tidak pernah selesai dalam setiap tahunnya mengenai metode dan penentuan waktu awal bulan syawwal. Menariknya para masyarakat awam ketika mendekati hari raya maka dalam dunia sosial media dan interaksi sehari-hari berubah menjadi obrolan sengit dengan masing-masing menonjolkan ego beragamanya dengan merasa apa yang dipahami dan dimilikinya itu paling benar.

 

Pandangan masyarakat awam tidak sedikit juga didorong dan diprovokasi oleh para pemuka agama maupun pendakwah, serta elite politik di daerah yang justru tidak mengarahkan pada kemajuan kualitas umat dan kedamaian ditengah umat. Tapi, menjadi corong utama untuk perselisihan dan memberikan jurang perbedaan diantara umat.

 

Mengenai penetapan satu syawwal memang Muhammadiyah menggunakan metode hisab hakiki wujudul hilal, berbeda dengan Kementerian Agama yang menggunakan rukyatul hilal (melihat hilal). Perbedaan ini harus dipahami dalam tataran variatif (keragaman pilihan), bukan perbedaan secara kontraproduktif (pertentangan). Metode hisab menekankan pentingnya ilmu astronomi yang membantu dalam mengetahui posisi dan keberadaan hilal, matahari, dan bumi melalui hitungan, sedangkan rukyatul hilal itu cenderung menggunakan upaya penglihatan terhadap keberadaan hilal (perubahan fase bulan).

 

Perbedaan yang seharusnya tidak menjadi masalah karena ini adalah ruang ijtihad, ternyata beberapa pendakwah mempertanyakan sehingga perlu diberikan tanggapan secara ilmiah agar masyarakat, khususnya warga Muhammadiyah tidak bimbang dan menjadi yakin dalam beragama.

 

Bahwa beredar video seorang dai yang mengatakan bahwa metode hisab ini pertama kali digunakan oleh kelompok Syiah Rafidhah. Anggapan tersebut berdasarkan uraian dalam kitab Fath al-Bari bi Syarh Shahih Al-Bukhari  karya Ibnu Hajar al-Asqalani. Menurut Syamsul Anwar ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, orang yang pertama kali membuka jalan bagi penggunaan hisab adalah dari kalangan Tabiin Senior yakni Mutharrif bin Abdillah bin as-Syikkhir yang meninggal pada tahun 95 H/713 M. Setelah itu penerimaan hisab dilanjutkan oleh seorang fakih dari Mazhab Syafii yakni Abu al-Abbas Ahmad bin Umar atau dikenal dengan Ibn Suraij yang wafat pada 306 H/918 M. Pandangan Syamsul ini didasarkan kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid karya Ibnu Rusyd.

 

Maka dari itu, dibantah bahwa yang menggunakan pertama kali bukan dari kalangan Syiah, bahkan di Iran masih menggunakan metode rukyat dalam menentukan awal Ramadan, Syawwal, Dzulhijjah. (Lihat https://muhammadiyah.or.id/benarkah-hisab-pertama-kali-digunakan-kalangan-syiah/).

 

Jika merujuk pada kitab yang menjadi referensi pendakwah tersebut khususnya pernyataan yang dikutipnya ada dihalaman 127 juz 4 mengalami simplifikasi tentang apa yang dimaksud oleh ulama salaf mengenai ilmu nujum (ilmu perbintangan) dengan metode hisab maupun yang dimaksud ilmu astronomi. Ilmu nujum (perbintangan) jika ditelusuri yang dimaksud oleh ulama yaitu mengandung ramalan dan prasangka atau perkiraan yang mengaitkan peristiwa benda langit terhadap nasib dan takdir dalam kehidupan di Bumi. Misalnya mengaitkan rezeki, jodoh, dan nasib buruk akibat dari fenomena benda-benda langit. Hal ini tentunya cenderung terjebak pada kesyirikan karena menggantungkan nasib kehidupannya dengan makhluk bukan kepada Allah.

 

Berbeda jauh ilmu nujum dengan metode hisab yang digunakan oleh kalangan Muhammadiyah, karena metode hisab tidak berdasarkan pada asas ramalan atau perkiraan, namun secara ilmu eksakta (pasti) dan tidak sama sekali mengandung kesyirikan, karena hisab hanya sebuah metode ijtihad untuk bisa mengetahui masuknya awal bulan, bukan menggantungkan nasib dan takdir terhadap benda langit. Hakikatnya benda langit yang diciptakan oleh Allah dengan peredarannya yang tetap menunjukkan hikmah agar kita dapat mengetahui waktu dan arah dalam melaksanakan ibadah (lihat QS [55]: 5, QS [10] : 5, QS [36]: 39-40).

 

Tafsir Thabari dalam menafsirkan Surat Yunus ayat 5 menekankan bahwa perhitungan mengenai matahari dan bulan secara konstan artinya yang memiliki ukuran sehingga tidak berlebih dan tidak pula kurang. Ibnu Asyur juga dalam tafsirnya memposisikan ayat ini dalam bahasan mengenai pembelajaran mengenai perhitungan hari dan bulan, kaitannya dengan kata hisab merujuk pada bulan.

 

Kata qaddarahu kembali pada makna bulan. Dapat dipahami bahwa Allah sebagai pencipta alam semesta telah mengatur dengan sempurna dan tetap atas ukurannya sehingga dapat dipelajari secara hitungannya untuk menentukan waktu hari dan bulan yang merujuk pada matahari dan bulan. Hikmahnya adalah umat Islam dapat melaksanakan ibadah dengan efektif dan lebih mudah ketika memahami dan mengetahui waktu tersebut sebagai nikmat dari Allah swt.

 

Selanjutnya, secara sosiologis Nabi Muhammad saw sendiri menyebutkan masyarakat Arab waktu itu sebagai masyarakat ummy (tidak memiliki pengetahuan yang kompleks dalam menulis dan menghitung). Maka yang lebih mudah pada zamannya yaitu dengan langsung melihat melalui mata, namun karena berkembangnya ilmu pengetahuan dan konteks zaman yang berbeda tentunya. Perbedaan konteks zaman terlihat dari jangkauan ruang lingkup yang mana masyarakat Arab waktu itu (zaman Nabi saw dan sahabat) masih lingkup kecil terbatas hanya di jazirah Arab.

 

Kemudian seiring meluasnya umat Islam di seluruh penjuru dunia sehingga rukyat sebagai metode juga mengalami persoalan karena perbedaan jarak, kondisi alam atau geografis masing-masing wilayah. Metode rukyat dalam konteks saat ini pasti tidak akan dapat menyatukan seluruh umat Islam di dunia pada hari yang sama. Hal ini dikarenakan ada bagian muka bumi yang dapat melakukan rukyat dan ada bagian muka bumi yang tidak dapat melakukannya, yang berakibat tidak dapatnya hari ibadah dijatuhkan satu hari di seluruh dunia. Bahkan ada bagian muka bumi (kawasan lintang tinggi, terutama kawasan yang disebut lingkaran kutub) yang tidak dapat melihat hilal secara normal.

 

Adapun perubahan hukum dari penggunaan rukyat di zaman Nabi Muhammad saw yang sekarang menggunakan metode hisab, tentu tidak boleh sembarangan dan harus memiliki setidaknya empat syarat. Pertama, perubahan hukum tersebut adanya tuntutan kemaslahatan untuk berubah. Penentuan awal Ramadan, Syawwal, dan Dzulhijjah harus dapat dilaksanakan dengan baik oleh seluruh penjuru dunia, jangan sampai sebagian dari umat Islam kita tidak bisa beribadah sesuai ketentuan syariat karena harus terpaku pada salah satu metode saja. Syarat kedua yaitu perubahan hukum itu tidak pada aspek ibadah mahdah, artinya perubahan ini hanya berkaitan dalam metode ataupun cara untuk menentukan ibadah.

 

Syarat berikutnya bahwa perubahan hukum ini tidak bersifat qat’i artinya memiliki ruang ijtihad didalamnya, tidak seperti misalnya diharamkannya memakan babi, memakan riba, dan lainnya. Syarat terakhir perubahan hukum juga harus berdasarkan pada landasan syar’i yaitu ayat al-Qur’an dan sunnah maqbullah (al-shohihah).

 

Selanjutnya, mengenai realitas perbedaan dengan pemerintah sering dikaitkan dengan bentuk ketaatan terhadap pemimpin (pemerintah) yang merujuk pada ayat QS [4]: 59. Jika ditelusuri lebih dalam bahwa ayat ini termasuk ayat-ayat Madaniyyah yang mana konteks sosial kemasyarakatan sudah disadari oleh umat Islam untuk hidup bersama ditengah pluralitas (keragaman). Sedangkan, asbabun nuzul menurut Ibn Abbas dalam tafsir Ibnu Asyur turun berkaitan dengan khuzafah yang diutus oleh Rasul untuk memimpin pasukan. Ibnu Katsir juga menambahkan dalam tafsirnya bahwa Rasulullah saw menyebutkan ketaatan terhadap pemimpin hanya berkaitan dengan kebaikan. Ibnu Asyur menafsirkan ayat tersebut ketika menjelaskan yang dimaksud ulil amri yaitu sekelompok orang yang memiliki otoritas yang mendapatkan amanah dari rakyat untuk menjalankan keadilan dalam urusan keumatan.

 

Pemimpin hendaknya memiliki keteladanan dan kompetensi keilmuan sekaligus sebagai mujtahid dalam al-Qur’an dan sunnah untuk menetapkan hukum, karena Islam sebagai agama tidak bisa terlepaskan pada urusan hukum. Namum, ketaatan terhadap pemimpin harus sinergi dan berada dibawah ketaatan kita kepada Allah dan Nabi Muhammad saw. Pada konteks Indonesia dalam kepemimpinannya merujuk pada sistem demokrasi sebagai representasi negara modern. Sebagai negara demokrasi membuka ruang kebebasan dalam menjalankan keberagamaan dari setiap warga negara yang diatur dalam UUD pasal 29 ayat 1 dan 2.

 

Maka dari itu, pemimpin seharusnya mengakomodasi seluruh perbedaan dalam aktivitas keagamaan bagi setiap warga negara. Karena perbedaan ini berdasarkan pada ruang ijtihad, negara tidak perlu mengatur pada persoalan yang sifatnya bukan ushul (dasar), karena secara historis negara yang mengatur sampai pada bagian furu’ (cabang) justru berdampak pada perpecahan dan kedzaliman sebagaimana kita melihat ketika negara Islam dalam sistem khilafah pada masanya. Kemudian istilah “mengikuti pemimpin” jangan dipahami secara parsialitas namun harus dilihat secara holistik sehingga mengikuti dan mentaati pemimpin yaitu berkaitan dengan ketaatan dalam menjalankan konstitusi.

 

Perbedaan dalam penetapan satu Syawal bukan inkonstitusional sehingga masih dalam koridor ketaatan, kecuali mereka yang berbeda dengan pemerintah sebagai agenda politik dan sikap konfrontatif untuk menolak legitimasi kekuasaan yang menjadikan perbedaan hari raya sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah. Namun, Muhammadiyah dengan ideologi dan prinsip kebangsaan sudah final untuk mengikuti bahkan berkontribusi terhadap kemajuan bangsa Indonesia, kita mengenal gagasan darul ahdi wa syahadah yang menjadikan Pancasila sebagai titik pijakan dasar dalam berbangsa dan bernegara dalam kesepakatan bersama. Maka pemahaman terhadap satu ayat harus dielaborasikan dengan semangat Qur’an yaitu semangat sosial dalam prinsip-prinsip ideal Islam, kemudian juga harus memahami secara kontekstual bagaimana kondisi sosial masyarakat yang berkembang sebagai semangat pembaharuan.


Tags: hisab , muhammadiyah , idulfitri , ramadan
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori : kesilaman

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website