PD Muhammadiyah Kabupaten Banjar - Persyarikatan Muhammadiyah

 PD Muhammadiyah Kabupaten Banjar
.: Home > Artikel

Homepage

MENATA ULANG POSISI MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN KEAGAMAAN DAN KEMASYARAKATAN DI TENGAH DINAMIKA KEHIDUPAN BANGSA

.: Home > Artikel > PDM
04 Oktober 2011 17:55 WIB
Dibaca: 3514
Penulis : Ahmad Syafii Maarif

Pada tahun 1930-an, pengamat Islam Indonesia, seorang orientalis Perancis, G.H. Bousquet, merasa heran mengamati sikap pejabat-pejabat Belanda yang masih saja menilai bahwa gerakan-gerakan modernis Muslim kurang berbahaya dibandingkan dengan gerakan nasionalis “yang menempatkan Islam bukan sebagai sesuatu yang utama.” Khusus tentang Muhammadiyah, dia menulis: “Memang betul bahwa Muhammadiyah tidak campur tangan dalam politik, tetapi anggota-anggotanya terlibat.” Muhammadiyah secara rahasia tetapi efektif mengobarkan semangat anti-kolonialisme di sekolah-sekolahnya, akibatnya: “Larangan tentang ajaran jihad atau perang agama terhadap orang kafir hanyalah efektif di permukaan saja.” Dengan kutipan ini, saya ingin membicarakan lebih jauh bahwa kelahiran dan perjalanan Muhammadiyah yang sarat dinamika telah menyatu sejak dini dengan seluruh tarikan nafas kebangsaan, khususnya setelah Indonesia lahir sebagai bangsa pada 1920-an. Muhammadiyah, nasionalisme, dan Indonesia ke depan Kelahiran Muhammadiyah tahun 1912 mendahului kelahiran bangsa (1920-an) dan negara (1945) Indonesia. Ungkapan nasionalisme memang tidak populer di kalangan Muhammadiyah, tetapi perbuatan yang bercorak nasionalistik telah menjadi wataknya sejak semula kebangkitannya. Muhammadiyah langsung bergerak untuk membenahi kultur umat terjajah melalui proses pencerahan dan kemanusiaan, sesuatu yang sangat mendasar bagi bangunan sebuah bangsa yang bakal lahir. Keterbukaannya terhadap gagasan-gagasan baru yang lebih segar telah menjadi sifat Muhammadiyah selama sekian dasawarsa. K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923), sekalipun lahir di lingkungan kultur Jawa Kraton yang kental, berkat pergaulannya dengan berbagai kalangan dan pergulatan batinnya yang sangat intens dengan situasi Islam yang sedang jatuh, telah memaksanya membuat kesimpulan yang saya rumuskan berikut ini: “Tidak boleh terus terkapar dalam situasi begini.” Pergaulan dan pergumulan inilah yang melatarbelakangi kelahiran Muhammadiyah yang sekarang sedang memasuki abad ke-2 usianya. Sesungguhnya sebagai gerakan sosial keagamaan yang sadar betul tentang keadaan umat yang miskin lahir-batin dan terjajah lagi, Muhammadiyah menemukan gagasan baru dalam format “Islam yang berkemajuan,” bukan Islam yang lumpuh di tangan umat yang lemah yang telah cukup lama menjadi mainan sejarah. Pada mulanya perumusan tujuan Muhammadiyah berangkat dari cita-cita sederhana dan lokal sifatnya, yang dalam Anggaran Dasar 1912 terbaca: a. menyebarkan pengajaran Igama Kanjeng Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputera di dalam residensi Yogyakarta, dan b. memajukan hal Igama kepada anggauta-angautanya. Dua tahun kemudian, dalam Anggaran Dasar 1914, sifat lokalnya berubah secara dramatis dalam rumusan: a. Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Igama Islam di Hindia Nederland, dan b. Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemaunan agama [Igama?] Islam kepada lid-lidnya. Untuk mencapai tujuan itu, Muhammadiyah mendirikan sekolah, menggerakkan pengajian, dan menggalakkan penerbitan dalam berbagai bentuk. Dengan cara ini, Muhammadiyah ingin menebus kelumpuhan umat melalui proses pencerdasan dan pencerahan. Adapun gagasan tentang bagaimana menolong kesengsaraan umum (seperti orang sakit) baru muncul tahun 1923, sebagai embrio PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem), dipelopori oleh Kiyai Sudja’ dengan persetujuan Ahmad Dahlan. Nama Hindia Nederland dalam AD Muhammadiyah baru diubah menjadi Indonesia dalam Kongres ke-28 di Medan bulan Nopember 1941, beberapa bulan menjelang invasi Jepang untuk mengusir Belanda, sedangkan tujuan dan upaya mencapainya belum mengalami perubahan yang berarti. Rumusan tujuan secara mendasar baru terjadi pada Muktamar Muhammadiyah ke-31 di Jogjakarta, 21-26 Desember 1950 yang berbunyi: “Maksud Persyarikatan ini akan menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.” Dalam ungkapan lain, cita-cita untuk mendirikan masyarakat Islam adalah gagasan yang muncul pasca-proklamasi, bukan di era awal. Kemudian pencantuman Asas Islam bagi Persyarikatan adalah keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-34 di Jogjakarta tahun 1959. Fasal 2 berbunyi: “Persyarikatan berasaskan Islam.” Yang ajaib adalah kenyataan bahwa selama 47 tahun (1912-1959) Muhammadiyah bergerak tanpa asas tertulis, tetapi tidak ada masalah, bukan? Apa yang hendak saya tegaskan di sini adalah bahwa masalah asas dalam perjalanan Muhammadiyah ternyata adalah kondisional, tidak mutlak. Artinya, sekiranya data autentik tentang masalah asas ini dicermati dengan baik pada tahun 1980-an, maka Muhammadiyah tidak perlu “bergesekan” terlalu keras dengan negara/pemerintah yang pada waktu itu berada di bawah sistem otoritarian. Mencuatnya masalah asas di kalangan Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dari suasana pergulatan politik kebangsaan dalam Majelis Konstituante yang bersidang antara tahun 1956 s/d 1959. Karena perdebatan tentang dasar negara dalam mejelis dinilai gagal oleh penguasa saat itu, maka dikeluarkan Dektrit 5 Juli 1959 dengan perintah kembali kepada UUD 1945 serta dengan membubarkan majelis. Muhammadiyah sebagai bagian yang menyatu dengan denyutan nadi bangsa tentu tidak bisa melepaskan diri dari iklim politik yang sarat konflik itu. Maka munculnya asas Islam dalam AD Muhammadiyah hendaklah dibaca dalam konteks perpolitikan bangsa tahun 1950-an itu. Sebelum itu, sebagaimana telah dijelaskan di depan, apa yang dikenal dengan kepribadian Muhammadiyah tidak terkait secara konstitusional dengan masalah asas itu. Ini penting saya sampaikan untuk mengantisipasi fluktuasi politik Indonesia di masa depan dengan serba kemungkinannya agar Muhammadiyah lebih cerdik dan tidak perlu menguras energi terlalu banyak untuk sesuatu yang bersifat kondisional. Siapa yang meragukan keislaman Muhammadiyah selama bergerak tanpa asas? Tetapi jika ada upaya, dari siapa pun, agar faham keislaman Muhammadiyah dikebiri atau dimandulkan, maka baru energi Persyarikatan kita kerahkan untuk menentukan sikap yang tepat dan cerdas untuk menghadapinya. Islam itu tidak terletak dalam Anggaran Dasar, tetapi bersemayam dengan kukuh di pusat saraf kesadaran warga Muhammadiyah. Dalam perspektif ini, kualitas keislaman warga Persyarikatan harus senantiasa dipertajam dan diasah terus menerus untuk mempercepat agar pesan Langit berupa rahmat bagi alam semesta dapat di bawa tutun ke bumi dengan penuh rasa tanggung jawab. Posisi kita sekarang masih teramat jauh dari cita-cita ideal itu. Pada dataran global, umat Islam belum berhasil menyamakan bahasa dan strategi bagaimana caranya agar pesan itu tidak hanya tergantung di awan tinggi, tetapi dirasakan secara kongkret dalam kehidupan nyata. Renungan serupa ini adalah buah dari kegelisahan saya yang terdalam tentang Islam, kemanusiaan, dan masalah-masalah besar lainnya yang belum juga menemukan solusi yang adil, baik pada tingkat nasional, regional, mau pun global sampai detik ini. Energi umat dalam perjalanan waktu yang panjang lebih banyak terkuras oleh persoalan-persoalan pinggir tetapi dinilai sebagai substansi ajaran agama. Untuk Indonesia, misalnya, kita telah bertungkus-lumus selama bertahun-tahun untuk memperjuangkan merek mewah berupa negara Islam, sementara fondasi moral dan intelektual yang kuat untuk itu belum dimiliki. Pemikiran-pemikiran Abul ‘Ala al-Maududi dan Said Quthb yang revolusioner, tetapi reaktif dan tidak realistik, pada suatu masa telah kita telan dengan sikap bilā kaifa (tanpa disoal secara cerdas dan mendalam). Sebegitu jauh, pendapat mengenai asas yang kondisional ini belum pernah saya dengar dari siapa pun atau membacanya dalam seluruh dokumen Muhammadiyah. Ini adalah temuan saya melalui bacaan dan pergaulan. Adapun asas Islam yang sudah dikukuhkan kembali pada Muktamar Jakarta tahun 2000, biarkan saja tetap seperti itu, tetapi kita akan bersikap lebih longgar dan lentur sekiranya prahara politik terjadi lagi di tanah air tercinta ini di masa depan. Saya berharap, domokrasi kita yang belum stabil ini tidak akan mendorong orang untuk menggantinya dengan sistem lain, sebab ongkosnya pasti akan terlalu mahal. Sebagai gerakan rakyat, Muhammadiyah semestinya tidak hanya terpukau dan terpaku oleh dirinya sendiri yang semakin membesar, sementara bangsa ini secara keseluruhan menjerit mencari keadilan dan keteladanan. Pertanyaannya adalah: jika bangsa ini tenggelam, apakah Muhammadiyah mau turut tenggelam atau kita telah menyiapkan diri untuk turut menyelamatkannya? Jawaban saya terhadap pertanyaan yang sedikit ngeri ini belum banyak beranjak dari apa yang pernah saya sampaikan di depan Sidang Tanwir Bali tahun 2002: “Jika bangsa ini tersungkur, Muhammadiyah akan turut tersungkur.” Dalam pandangan saya, dengan segala kebesaran dan ekspansi amal-usahanya yang tidak pernah menyusut, Muhammadiyah belum sempat menawarkan hasil-hasil pemikiran alternatif bagi bangsa ini. Maka tesis saya adalah agar Muhammadiyah memperkuat wawasan kebangsaannya dengan sekaligus tampil sebagai gerakan ilmu. Pendapat ini adalah dalam rangka mengantisipasi serba kemungkinan masa depan Indonesia yang belum juga cukup siuman dalam menata dirinya sebagai bangsa dan negara yang berdaulat. Nasionalisme Indonesia yang dulu telah berhasil memerdekakan bangsa ini, dalam perjalanannya untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya keadilan dan kemakmuran yang merata, nasionalisme itu sendiri tampaknya seperti telah kehilangan elan vital untuk menuntun bangsa ini ke arah masa masa depan yang lebih cerah dan bermartabat. Bahkan kelihatannya nasionalisme sedang kebingungan melihat kelakuan anak-anak bangsa yang telah lupa daratan, lupa lautan. Pragmatisme elit politik dan elit ekonomi telah semakin melumpuhkan kekuatan nasionalisme dan patriotisme yang dulu pernah sangat perkasa. Para pemikir Muhammadiyah belum tentu terlalu hirau dengan fakta keras yang memprihatinkan ini. Dengan peta sosio-kultural-politik seperti yang baru saja gambarkan, maka waktunya sudah sangat tinggi bagi Muhammadiyah untuk menata ulang tidak saja posisinya di tengah-tengah dinamika kebangsaan, tetapi juga merumuskan peran strategis yang mungkin dimainkannya dalam tempo yang dekat ini. Peran itu tidak akan pernah terwujud secara meyakinkan, jika pimpinan Muhammadiyah dari tingkat daerah sampai ke tingkat pusat tidak mengenal secara cermat peta kebangsaan yang sedang berubah secara dinamis dan dramatis. Buta peta dan sempitnya pergaulan menjadi salah satu faktor utama mengapa peran itu akan sukar dimainkan secara maksimal. Sekalipun demikian, harapan masyarakat luas, terutama saudara-saudara kita sebangsa yang tidak seagama dengan kita masih menaruh harapan besar kepada Muhammadiyah dan NU untuk tetap berperan sebagai payung pelindung eksistensi mereka yang sering “diteror” oleh kelompok-kelompok yang mengesankan dirinya sebagai yang paling relijius dan paling dekat dengan Tuhan, jika bukan telah mengambilalih peran Tuhan tentang kebenaran. Indonesia masih beruntung karena arus besar Islam di sini telah mengkristal dalam kultur Muhammadiyah dan kultur NU yang moderat, terbuka, dan modern. Jika terasa kelemahan dalam kultur ini adalah karena Muhammadiyah dan NU kurang agresif dalam upaya memasarkan cita-cita Islam yang memayungi semua suku bangsa, penganut agama, dan siapa pun yang hidup di bumi Nusantara ini. Di saat-saat kritikal, sikap agresif tetapi terukur perlu juga ditunjukkan agar pihak lain tidak menilai kita telah kehabisan amunisi untuk berperan sebagai payung pelindung dan tenda besar bagi semua. Islam yang ditawarkan dan filosofi kader Dalam usia yang semakin senja, saya ingin menyampaikan, khususnya kepada anak-anak muda Muhammadiyah agar urutan filosofi perkaderan dibalik secara radikal. Jika selama ini urutan itu adalah: kader persyarikatan, kader umat, dan kader bangsa, diubah menjadi: kader kemanusiaan, kader bangsa, kader umat, dan baru kader persyarikatan. Mengapa kader kemanusiaan ditempatkan paling atas? Pertimbangannya adalah dalam pemikiran berikut ini. 1. Misi Islam sebagai “rahmat bagi alam semesta,” mengharuskan kita untuk memasuki gelanggang kehidupan dari pintu kemanusiaan. Melalui paradigma mondial, kita akan memandang seluruh umat manusia, siapa pun mereka, pada hakekatnya adalah sahabat. Jika terjadi konflik dan permusuhan, harus diselesaikan dalam bingkai kemanusiaan yang adil dan beradab. Di sebuah dunia yang masih sarat dengan pertentangan dan pertumpahan darah, diktum “rahmat bagi alam semesta” masih terdengar terlalu jauh di sana. Tetapi umat Islam tidak boleh melepaskan diri dari kawalan diktum itu, karena itu berasal dari suaran Langit, betapa pun posisi dan peran kita masih saja berkutat di pinggir-pinggir peradaban. Agar peran kita bisa dihargai pihak lain, maka upaya pertama yang harus dilakukan adalah perbaikan dan pembenahan total terhadap kondisi internal kita yang masih rapuh. 2. Dari posisi kader kemanusiaan, kita turun selangkah menjadi kader bangsa, karena kita hidup dan bernafas dalam teritori negara-bangsa yang bernama Indonesia. Dalam sebuah masyarakat pluralistik, konsep keumatan di samping ditempatkan dalam bingkai kemasiaan universal, perumahan kebangsaan adalah dermaga awal untuk dijadikan pangkal tolak untuk bergerak lebih jauh. Dengan filosofi ini, umat Islam akan tampil sebagai garda terdepan tanpa rasa canggung untuk membela dan merawat kepentingan bangsa ini bersama-sama dengan umat-umat lain dalam iklim persaudaraan yang dalam dan jujur. 3. Manusia diciptakan memang tidak dalam format sosio-kultural yang tunggal, tetapi dalam lingkungan beragam umat dengan ciri khasnya masing-masing. Ciri ini adalah pertanda bahwa Allah, Maha Pencipta, anti-keseragaman, sebab panorama serba-seragam dapat membuat manusia menjadi miskin wawasan dan kaku dalam pergaulan. Ini adalah sebuah fakta sejarah yang tidak mungkin dibantah. Oleh sebab itu, berilah kesempatan masing-masing umat yang beragam itu mencetak kadernya sendiri untuk kepentingan lingkungan khas yang berbeda, tetapi dalam wawasan tetap berada di bawah tenda kebangsaan dan di atasnya terbentang tenda kemanusiaan yang sangat luas, hampir tak bertepi. Iman saya tidak menamui kesulitan apa-apa untuk meluaskan radius pergaulan dengan segala macam manusia dengan syarat sama-sama berpegang kepada konsep litaārrafū (untuk saling menyapa, saling memperkaya, dan saling bertukar unsur-unsur pengalaman dan peradaban). 4. Adalah sebuah kenyataan sejarah, di kalangan umat yang satu, keberagaman internal telah menjadi fakta sejak masa dahulu kala. Untuk Indonesia, seperti telah ditakdirkan Muhammadiyah dan NU telah muncul sebagai dua sayap utama yang juga memerlukan pembinaan kadernya masing-masing, demi kelangsungan gerakan dan misi yang telah dirumuskannya. Baik Muhammadiyah dan NU, menurut tesis saya, adalah bagian yang menyatu dengan tiga ranah pergaulan di atas: kemanusiaan, kebangsaan, dan keumatan. Dengan menyebut dua arus besar umat itu, kelompok-kelompok Islam yang lain tidak berati punya peranan kecil untuk mengukuhkan pilar-pilar kebangsaan Indonesia. Mereka semua telah berjasa pula melalui cara dan strateginya masing-masing yang sengaja tidak kita bicarakan di sini. Untuk mengoptimalkan peran keislaman kedua sayap utama umat ini, maka pertanyaan ini harus dijawab: “Apakah Islam yang ada di hati dan di otak Muhammadiyah dan NU sekarang ini masih cukup memadai untuk kepentingan kemanusiaan, kebangsaan, dan keumatan yang kini sedang berada dalam dinamika sejarah yang sangat kreatif dan kritikal?” Dalam pantauan saya, jawabannya: sudah tidak memadai. Jalan ke luarnya adalah agar seluruh bangunan Islam yang sudah menjadi sejarah perlu dikaji kembali secara bertanggung jawab, jujur, dan kritikal. Ini adalah kerja ijtihad dalam makna yang substansial. Kajian itu harus menghasilkan sebuah Islam yang mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah kemanusiaan, kebangsaan, dan keumatan, di samping berfungsi sebagai kekuatan pengawal peradaban. Ada pendapat: “Sebuah Islam yang tidak mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah manusia, bukanlah Islam yang sebenarnya.” Tantangan ini tidak mungkin mungkin dijawab secara tuntas, jika otak dan hati dibiarkan mandul dalam kemalasan atau tidur nyenyak dalam iklim setengah sadar. Penutup Dengan uraian di atas, saya berharap telah sedikit memberikan masukan kepada Muhammadiyah dalam usianya abad ke-2 untuk menata ulang posisinya, baik untuk ranah global, mau pun dalam mengoptimalkan perannya di tengah dinamika kehidupan kebangsaan Indonesia. Sejalan dengan kualitas Islam sebagai solusi seperti yang kita harapkan, maka rumusan ini patut pula dipertimbangkan: “Sebuah Muhammadiyah yang tidak mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah Indonesia, bukanlah Muhammadiyah yang sebenarnya.” Di sinilah letaknya salah satu tantangan terbesar yang sedang menanti jawaban Muhammadiyah.

(Disampaikan di forum Seminar dan Lokakarya Pra-Muktamar Muhammadiyah Satu Abad, Kampus Universitas Muhammadiyah Surakarta, 15 Desember 2009)


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori : Artikel Seminar

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website