Mengenal Lebih Dalam Gerakan Lintas Agama Dalam Menuntut Keadilan Iklim
Dibaca: 107
Martapura – bertempat di Wisma Sultan Sulaiman Martapura Greenfaith Indonesia memilih Kalimantan Selatan sebagai tempat diselenggarakanya training untuk kaum muda dan perempuan lintas iman dengan tema “membangun akar rumput, gerakan multi-agama untuk keadilan iklim” (14/01/23).
GreenFaith adalah organisasi internasional yang saat ini telah tersebar di berbagai negara, baik di benua Amerika, Afrika, Eropa, UK, Asia dan Oseania. Melalui para aktivis dan pegiatnya yang berasal dari beragam latar belakang agama, budaya, etnis dan ideologi, GreenFaith berikhtiar memperjuangkan keadilan iklim dan energi bersih. Sebagai organisasi internasional, tujuan utama GreenFaith adalah memperkuat dampak dan kontribusi masyarakat beragama untuk mengerem percepatan krisis iklim. Kita tidak punya banyak waktu lagi.
Dalam perjalanannya, GreenFaith bermula sebagai sebuah organisasi lokal di New Jersey, Amerika Serikat. Berdiri pada tahun 1992. Seiring dengan kebutuhan dan kemendesakan, GreenFaith membutuhkan semakin banyak orang untuk terlibat. Dampak buruk krisis iklim yang diikuti oleh lemahnya tanggungjawab otoritas berwenang untuk bersikap tegas dan solutif, menjadikan GreenFaith perlu memperlebar kolaborasi dan sinergi. Pada medio 1990-an dan 2000-an, GreenFaith fokus menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan untuk orang-orang dari beragam latar belakang agama dan kepercayaan. GreenFaith membawa tema besar tentang pentingnya basis komitmen moral dan spiritual untuk memproteksi bumi dari krisis ekologi. Selain itu, GreenFaith juga menggerakkan advokasi untuk isu udara bersih, pengurangan emisi gas rumah kaca, dan perlunya sumber energi ramah lingkungan untuk rumah ibadah atau fasilitas keagamaan.
Mengapa GreenFaith harus ada di Indonesia?
Masyarakat Indonesia dikenal sangat agamawi dan spiritual. Ada enam agama dengan jumlah pemeluk yang besar di Indonesia, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budhha dan Konghucu. Ada pula yang disebut sebagai agama lokal atau “keyakinan” dan “kepercayaan” seperti Kejawen, Sunda Wiwitan, Marapu dan Boti, Tonaas Walian, Naurus, Kaharingan, Parmalim, dan masih banyak lagi. Setiap agama, keyakinan dan kepercayaan memiliki ajaran, pesan dan narasi moral terkait penjagaan alam dan seruan pada manusia untuk hidup harmonis dengan alam. Pada level ajaran agama, teks-teks di kitab suci tertera perintah untuk membangun hidup yang adil, serasi dan harmonis dengan sesama makhluk ciptaan Tuhan lain seperti sesama manusia, hewan, tumbuhan, dan pepohonan, bahkan pada materi natural seperti tanah, air dan udara.
Organisasi keagamaan, pemuka agama, dan kelompok cendekia di Indonesia sejak lama telah berupaya mendayagunakan nilai moral dan ajaran agama mereka masing-masing ke dalam kerangka perlindungan lingkungan hidup. Sebagai contoh, organisasi keislaman tertua dan terbesar di Indonesia seperti Muhammadiyah telah menerbitkan pandangan keagamaan resmi yang telah terpublikasikan. Untuk menyebut beberapa di antarnaya, yakni Teologi Lingkungan Hidup (2006), Akhlaq Lingkungan (2011), dan Fikih Tata Kelola dan Pembaruan Agraria (2020). Melalui Majelis Lingkungan Hidup (MLH) dan Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) yang ada di bawah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, pendayagunaan ajaran Islam telah ditransformasikan untuk menjawab problem degrasi ekologi dan krisis iklim.
Masih mencuplik contoh untuk ajaran Islam, pada abad ke-18, seorang ulama asal Martapura Kalimantan Selatan bernama Muhammad Arsyad al-Banjari telah menulis kitab hukum Islam pertama berwawasan lingkungan yang berjudul Sabil al-Muhtadin (ditulis antara 1779-1781). Kitab berisi tentang teori kualitas air dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan berdasarkan prinsip ajaran Islam.(Alb)
Tags: greenfaith
Kategori: kabar islam
Arsip Berita
